Makna Islam Terpecah 73 Golongan - Eramuslim
Firman Allah swt :
Tafsir Surat Al Anbiya : 93
Artinya : “Sesungguhnya (agama tauhid) Ini adalah agama kamu semua;
agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, Maka sembahlah Aku. Dan mereka
telah memotong-motong urusan (agama) mereka di antara mereka. kepada
kamilah masing-masing golongan itu akan kembali. Maka barang siapa yang
mengerjakan amal saleh, sedang ia beriman, Maka tidak ada pengingkaran
terhadap amalannya itu dan Sesungguhnya kami menuliskan amalannya itu
untuknya.” (QS. Al Anbiya : 92 – 94)
Tentang firman Allah إن هذه أمتكم أمة واحدة , Ibnu Abbas, Mujahid,
Said bin Jubeir dan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam mengatakan bahwa
agama kalian adalah satu.
Sedangkan Hasan Al Bashri mengatakan bahwa ayat itu menjelaskan
kepada mereka apa-apa yang harus dijaga dan apa-apa yang akan terjadi
kemudian dia mengatakan bahwa makna dari إن هذه أمتكم أمة واحدة adalah
sunnah (jalan) kalian adalah jalan yang satu.
Adapun maksud firman Allah وتقطعوا أمرهم بينهم adalah umat-umat
berselisih terhadap para rasul mereka, ada dari mereka yang mengimani
namun ada juga yang mendustai mereka. Karena itulah firman-Nya كل إلينا
راجعون yaitu : pada hari kiamat, Dia swt akan memberikan balasan sesuai
dengan amalnya, jika amalnya baik maka dibalas dengan kebaikan dan jika
ia buruk maka dibalas dengan keburukan. Karena itu juga Allah berfirman
فمن يعمل من الصالحات وهو مؤمن yaitu hatinya beriman dan beramal shaleh
فلا كفران لسعيه seperti firman-Nya إنا لا نضيع أجر من أحسن عملا (QS. Al
Kahfi : 30) yang berarti usaha atau amalnya tidak akan diingkari
bahkan diberikan balasan dan tidaklah dizhalimi walau sebesar biji sawi
sekali pun, karena itu pula firman-Nya selanjutnya وإنا له كاتبون
yaitu akan ditulis seluruh amalnya dan tidak akan disia-siakan sedikit
pun. (Tafsir al Qur’anil Azhim juz V hal 371 – 372)
Al Qurthubi mengatakan bahwa makna وتقطعوا أمرهم بينهم mereka saling
berpecah didalam agama, demikian dikatakan al Kalibi, sementara al
Akhfasy mengatakan bahwa mereka saling berselisih didalamnya.
Al Qurthubi juga mengatakan bahwa yang dimaksud di situ adalah
orang-orang musyrik, mereka dicerca karena telah menyimpang dari
kebenaran serta mengambil tuhan-tuhan selain Allah. Al Azhariy
mengatakan bahwa maknanya adalah mereka telah berpecah belah didalam
urusan (agama) mereka.
Maksudnya adalah seluruh makhluk, yaitu mereka telah menjadikan
urusan didalam agama mereka terpotong-potong dan mereka mebagi-bagi
diantara mereka. Diantara mereka ada yang tetap bertauhid, ada yang
menjadi Yahudi, ada yang menjadi Nashrani dan ada yang menyembah raja
atau berhala. Dan كل إلينا راجعون yaitu seluruhnya akan dikembalikan
kepad pengadilan Kami lalu Kami memberikan balasan kepada mereka. (Al
Jami’ Li Ahkmil Qur’an jilid VI hal 304 – 305)
Didalam menafsirkan ayat-ayat diatas Sayyid Qutb mengatakan bahwa
umat para rasul adalah satu, mereka tegak diatas aqidah yang satu dan
agama yang satu. Asasnya adalah tauhid yang menjadi da’wah para rasul
sejak awal hingga akhir risalah-risalah tanpa ada pergantian atau
perubahan pada asal yang besar ini.
Sesungguhnya berbagai perincian dan penambahan didalam manhaj
kehidupan tegak diatas aqidah tauhid yang sesuai dengan kesiapan setiap
umat, perkembangan setiap generasi, sesuai pertumbuhan pengetahuan dan
pengalaman manusia, kesiapan mereka terhadap berbagai tipe taklif dan
syari’at serta sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan baru yang tumbuh
bersama pengalaman mereka dan perkembangan kehidupan, berbagai sarana
dan hubungan antara generasi satu dengan lainnya.
Bersamaan dengan kesatuan umat para rasul dan kesatuan dasar yang
diatasnya tegak seluruh risalah itu terjadilah perpecahan dikalangan
para pengikutnya dalam urusan (agama), setiap mereka menjadi sebuah
potongan dan lari darinya. Lalu muncul perdebatan dan banyak
perselisihan terjadi diantara mereka serta bangkitlah permusuhan dan
kebencian diantara mereka… Hal itu terjadi diantara para pengikut dari
rasul yang satu hingga mengakibatkan sebagian mereka membunuh sebagian
lainnya dengan mengatasnamakan aqidah padahal aqidahnya satu dan umat
para rasul seluruhnya adalah satu.
Sungguh perpecahan diantara mereka dalam urusan (agama) mereka di
dunia dan seluruhnya akan dikembalikan kepada Allah di akherat كل إلينا
راجعون yaitu seluruhnya hanya kembali kepada-Nya. Dia lah yang berhak
menghisab mereka dan Yang mengetahui atas apa yang mereka lakukan baik
berupa petunjuk atau kesesatan . (Fii Zhilalil Qur’an juz IV hal 2397)
Didalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ashabus Sunan dan
masanid seperti Abu Daud, Nasai, Tirmidzi dan yang lainnya dengan
beberapa lafazhnya, diantaranya,”Orang-orang Yahudi akan terpecah
menjadi tujuh puluh satu golongan seluruhnya di neraka kecuali satu.
Orang-orang Nasrani terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan seluruhnya
di neraka kecuali satu. Dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh
tiga golongan seluruhnya di neraka kecuali satu.” Didalam riwayat
lain,”Mereka bertanya,’Wahai Rasulullah, siapakah golongan yang selamat ?
Beliau saw menjawab,’Siapa yang berada diatas (ajaran) seperti
ajaranku hari ini dan para sahabatku.” (HR. Thabrani dan Tirmidzi)
didalam riwayat lain disebutkan,”ia adalah jama’ah, tangan Allah berada
diatas tangan jama’ah.” (HR. Ahmad dan Abu Daud)
Siapa Golongan Yang Selamat ?
Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz mengatakan bahwa “Golongan
yang Selamat” adalah jama’ah yang istiqomah diatas jalan Nabi saw dan
para sahabatnya, mengesakan Allah, menaati berbagai perintah dan
menjauhi berbagai larangan-Nya, istiqomah dengannya dalam perkataan,
perbuatan maupun aqidahnya. Mereka adalah ahlul haq, para penyeru kepada
petunjuk-Nya walaupun mereka tersebar di berbagai negeri, diantara
mereka ada yang tinggal di Jazirah Arab, Syam, Amerika, Mesir, Afirka,
Asia, mereka adalah jama’ah-jama’ah yang banyak yang mengetahui aqidah
dan amal-amal mereka. Apabila mereka berada diatas jalan tauhid,
keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya, istiqamah diatas agama Allah
sebagaimana yang terdapat pada Al Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya maka
mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah walaupun mereka berada di banyak
tempat namun pada akhir zaman jumlah mereka tidaklah banyak.
Dengan demikian, kriiteria mereka adalah keistiqomahan mereka berada
diatas kebenaran. Apabila terdapat seseorang atau jama’ah yang menyeru
kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, menyeru kepada tauhid Allah
serta mengikuti syariahnya maka mereka adalah jama’ah, mereka adalah
“Golongan yang Selamat”.
Adapun orang yang menyeru kepada selain Kitabullah atau selain Sunnah
Rasul saw maka mereka bukanlah jama’ah bahkan termasuk kedalam golongan
yang sesat dan merusak.
Sesungguhnya golongan yang selamat adalah para penyeru Al Qur’an dan
Sunnah, walaupun ia adalah jama’ah ini atau jama’ah itu selama tujuan
dan aqidahnya adalah satu tidak masalah apakah ia adalah jama’ah :
Anshorus Sunnah, al Ikhwan al Muslimin atau yang lainnya, yang penting
aqidah dan amal mereka. Apabila mereka istiqomah diatas kebenaran,
tauhidullah, ikhlas dengannya, mengikuti rasul-Nya saw baik perkataan,
perbuatan, aqidah sedangkan nama tidaklah menjadi persoalan akan tetapi
hendaknya mereka bertakwa kepada Allah dan bersifat shidiq.
Apabila sebagian mereka menamakan jam’ahnya dengan Anshorus Sunnah,
sebagian lain menamakannya dengan Salafiy atau al Ikhwan al Muslimin
atau jama’ah ini dan itu maka tidaklah menjadi persoalan selama jama’ah
itu shidiq dan istiqomah diatas kebenaran dengan mengikuti Kitabullah
dan Sunnah serta menghukum dengan keduanya, istiqomah diatas keduanya
baik aqidah, perkataan dan perbuatan. Apabila jama’ah itu melakukan
kesalahan dalam suatu urusan maka wajib bagi ahli ilmu untuk
mengingatkannya dan menunjukinya kepada kebenaran apabila buktinya telah
jelas.
Hal itu berarti : Hendaknya kita saling bekerja sama didalam
kebajikan dan ketakwaan, mencari solusi terhadap berbagai problematika
kita dengan ilmu, hikmah, cara-cara yang baik. Barangsiapa yang
melakukan kesalahan dalam suatu urusan dari jama’ah-jama’ah ini atau
selain mereka yang berkaitan dengan aqidah atau apa-apa yang diwajibkan
Allah atau diharamkan Allah maka hendaknya mereka diingatkan dengan
dalil-dalil syar’i dengan cara yang lembut, bijaksana, cara yang baik
sehingga mereka mau mengakui dan menerima kebenaran serta tidak lari
darinya. Ini adalah kewajiban kaum muslimin untuk saling bekerja sama
dalam kebajikan dan ketakwaan, saling menasehati diantara mereka dan
tidak saling menghina yang bisa membuka peluang musuh untuk masuk
ketengah-tengah mereka. (Majmu’ Fatawa wa Maqolat Mutanawwi’ah juz VIII
hal 181)
Wallahu A’lam