Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa Pancasila, memiliki dan melaksanakan kejujuran professional berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai bahan melakukan bimbingan dan pembinaan, menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses belajar-mengajar, memelihara hubungan baik dengan orangtua murid dan masyarakat sekitarnya untuk membina peran serta dan rasa tanggungjawab bersama terhadap pendidikan, secara pribadi dan bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesinya, memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan, dan kesetiakawanan sosial, secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian, serta melaksanakan segala kebijakan Pemerintah dalam bidang pendidikan.
KODE ETIK GURU INDONESIA
PEMBUKAAN
Dengan
rahmat Tuhan Yang Maha Esa guru Indonesia menyadari bahwa jabatan guru adalah
suatu profesi yang terhormat dan mulia. Guru
mengabdikan diri dan berbakti untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan
kualitas manusia Indonesia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia serta
menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dalam mewujudkan masyarakat
yang maju, adil, makmur, dan beradab.
Guru Indonesia selalu tampil secara profesional
dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih,
menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru Indonesia memiliki kehandalan yang tinggi sebagai sumber daya
utama untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi
warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Guru Indonesia
adalah insan yang layak ditiru dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara, khususnya oleh peserta didik, yang dalam melaksankan tugas berpegang
teguh pada prinsip “ing ngarso sung tulodho, ing madya mangun karso, tut
wuri handayani”. Dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip tersebut guru
Indonesia ketika menjalankan tugas-tugas profesionalnya dituntut memiliki
kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi
profesional sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi.
Guru Indonesia
bertanggung jawab mengantarkan siswanya untuk mencapai kedewasaan sebagai calon
pemimpin bangsa pada semua bidang kehidupan. Untuk itu, pihak-pihak yang
berkepentingan selayaknya tidak mengabaikan peranan guru dan profesinya, agar
bangsa dan negara dapat tumbuh sejajar dengan dengan bangsa lain di negara
maju, baik pada masa sekarang maupun masa yang akan datang. Kondisi seperti itu
bisa mengisyaratkan bahwa guru dan profesinya merupakan komponen kehidupan yang
dibutuhkan oleh bangsa dan negara ini sepanjang zaman. Hanya dengan pelaksanaan
tugas guru secara profesional hal itu dapat diwujudkan eksitensi bangsa dan
negara yang bermakna, terhormat dan dihormati dalam pergaulan antar
bangsa-bangsa di dunia ini.
Peranan guru
semakin penting dalam era global. Hanya melalui bimbingan guru yang
profesional, setiap siswa dapat menjadi sumber daya manusia yang berkualitas,
kompetitif dan produktif sebagai aset nasional dalam menghadapi persaingan yang
makin ketat dan berat sekarang dan dimasa datang.
Dalam
melaksanakan tugas profesinya guru Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa perlu
ditetapkan Kode Etik Guru Indonesia sebagai pedoman bersikap dan berperilaku
yang mengejewantah dalam bentuk nilai-nilai moral dan etika dalam jabatan guru
sebagai pendidik putera-puteri bangsa.
Untuk lebih lengkapnya silahkan klik ling disini
DEWAN KEHORMATAN
DAN
PROSEDUR OPERASIONAL KODE ETIK GURU INDONESIA
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Pengertian
Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan:
(1)
|
Dewan Kehormatan Guru Indonesia (DKGI)
adalah perangkat kelengkapan organisasi PGRI yang dibentuk untuk
menjalankan tugas dalam memberikan saran, pendapat, pertimbangan,
penilaian, penegakkan, dan pelanggaran disiplin organisasi dan etika
profesi guru. |
(2)
|
Peraturan tentang Dewan Kehormatan Guru
Indonesia adalah pedoman pokok dalam mengelola Dewan Kehormatan Guru
Indonesia, dalam hal penyelenggaraan tugas dan wewenang bimbingan,
pengawasan, dan penilaian Kode Etik Guru Indonesia. |
(3)
|
Guru adalah pendidik profesional dengan
tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih,
menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini,
jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. |
(4)
|
Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan. |
(5)
|
Penyelenggara pendidikan adalah pemerintah,
pemerintah daerah, atau masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan
formal dalam setiap jenjang dan jenis pendidikan. |
(6)
|
Masyarakat adalah kelompok Warga Negara Indonesia nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan. |
(7)
|
Kode Etik Guru Indonesia adalah norma dan
asas yang disepakati dan diterima oleh guru sebagai pedoman sikap
perilaku dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pendidik, anggota
masyarakat, dan warga negara. |
(8)
|
Penanganan dan pelanggaran Kode Etik Guru
Indonesia, adalah pedoman pokok dalam penanganan pelanggaran bagi guru
dan tenaga kependidikan lainnya terhadap etika guru yang telah
ditetapkan. |
BAB II
KEORGANISASIAN
Pasal 2
Keorganisasian DKGI
Keorganisasian Dewan Kehormatan Guru Indonesia merupakan peraturan
atau pedoman pelaksanaan yang dijabarkan dari Anggaran Dasar (AD) PGRI
BAB XVII pasal 30, dan Anggaran Rumah Tangga (ART) PGRI BAB XXVI pasal
92 tentang Majelis Kehormatan Organisasi dan Kode Etik profesi, dalam
rangka penegakan disiplin etik guru.
Pasal 3
Tata Cara Pembentukan
(1)
|
Dewan Kehormatan Guru Indonesia
berada di tingkat pusat, tingkat provinsi, dan kabupaten/kota, yang di
bentuk oleh badan pimpinan organisasi PGRI yang bersangkutan. |
(2)
|
Dewan Kehormatan Guru
Indonesia tingkat pusat di sebut sebagai DKGI Pusat, pada tingkat
Provinsi di sebut DGKI Provinsi, dan pada Kabupaten/kota di sebut DKGI
Kabupaten/Kota. |
(3)
|
Pembentukan DKGI hanya
dibenarkan jika di daerah tersebut telah ada pengurus PGRI tingkat
Provinsi dan Kabupaten/kota : yang masing-masing disebut pengurus
Provinsi dan Kabupaten/kota. |
(4)
|
Pembentukan DKGI pusat
dilakukan oleh Konfrensi pusat (Konpus) PGRI, sedangkan pembentukan
di provinsi dan Kabupaten/kota, masing-masing melalui Konfrensi Kerja
Provinsi dan atau Kabupaten/kota. |
(5)
|
Untuk kepentingan pertimbangan
khusus dalam pengesahan organisasi DKGI dimaksud dari pengurus besar
PGRI sebagaimana dimaksud dalam ayat 4 diatas, pengurus PGRI Propinsi
dan atau Kabupaten/kota harus mengirimkan informasi tentang : |
|
a.
|
Data organisasi dan anggota secara lengkap dan menyeluruh. |
|
b.
|
Hal-hal lain yang berkaitan dengan urgensi pembentukan DKGI dimaksud. |
Pasal 4
Status
(1)
|
Status DKGI adalah perangkat kelengkapan organisasi PGRI, sehingga keputusannya merupakan keputusan pengurus PGRI. |
(2)
|
Status DKGI Pusat maupun Provinsi dan atau
Kabupaten/Kota dalam organisasi PGRI adalah sebagai badan otonom, dalam
pengertian bahwa segala keputusannya yang diambil tidak bisa dipengaruhi
pengurus PGRI atau badan-badan yang lainnya. |
(3)
|
Untuk menjamin kenetralan sikap dan
keputusan yang akan ditetapkan maka penyelenggaraan tugas dan
wewenangnya harus dilakukan secara terpisah dari pengelolaan berbagai
perangkat kelengkapan organisasi PGRI lainnya. |
(4)
|
Pengelolaan tugas dan wewenang DKGI harus
terpisah dari tugas dan wewenang Pengurus Besar PGRI dan begitupun
selanjutnya sampai ke Provinsi dan atau Kabupaten/Kota. |
Pasal 5
Kedudukan
(1)
|
Kedudukan DKGI pusat berada di tempat kedudukan Pengurus Besar PGRI dan begitupun di tingkat Provinsi dan atau Kabupaten/kota. |
(2)
|
Wilayah kerja DKGI adalah wilayah kerja organisasi PGRI yang setingkat dengan tingkatan dari organisasi PGRI di maksud. |
(3)
|
Apabila pengurus PGRI Provinsi belum
terbentuk dan karena itu DKGI belum bisa terbentuk maka tugas kerja
daerah tersebut dijabat oleh pengurus daerah PGRI terdekat, begitupun
dengan PGRI Kabupaten/kota. |
(4)
|
Fungsi dan tugas DKGI di tingkat Cabang dan Ranting PGRI menjadi tanggung jawab Pengurus PGRI Kabupaten/kota. |
(5)
|
Pelimpahan tugas sebagaimana disebut dalam
ayat 3 di atas ditetapkan melaui Surat Keputusan pengurus Besar PGRI
khusus untuk PGRI Provinsi, dan dari pengurus PGRI Provinsi untuk PGRI
Kabupaten/kota. |
Pasal 6
Susunan Pengurus
(1)
|
Susunan keanggotaan DKGI terdiri dari unsur
Dewan Penasehat, Badan Pimpinan Organisasi, Himpunan Profesi dan
Keahlian Sejenis, dan yang lainnya sesuai dengan keperluan. |
(2)
|
Susunan pengurus DKGI sekurang-kurangnya
terdiri dari seorang ketua, seorang wakil ketua, seorang sekretaris,
seorang bendahara, dan 5 anggota dengan jumlah seluruhnya paling banyak
10 orang untuk pusat, dan sebanyak-banyaknya 7 orang untuk daerah. |
(3)
|
Susunan anggota DKGI terdiri dari unsur
Dewan Pesehat, Badan Pimpinan Organisasi, Himpunan Profesi dan keahlian
Sejenis dan yang lainnya yang terdiri dari latar belakang yang
berbeda-beda baik profesi maupun pengalamannya misalnya pendidikan,
kebudayaan, kemasyarakatan dan lainnya. |
(4)
|
Jika diperlukan maka Keanggotaan DKGI bisa
saja ditambah sebanyak 3 orang anggota tidak tetap, yang penunjukkannya
atas dasar keperluan terhadap keahlian tertentu sesuai dengan kasus atau
permasalahan yang ditangani. |
(5)
|
Selama menangani masalah, maka anggota DKGI
tidak tetap sebagaimana ayat 4 di atas pada dasarnya memiliki hak dan
kewajiban yang sama dengan anggota tetap lainnya. |
(6)
|
Masa jabatan anggota DKGI tidak tetap
segera berakhir apabila masalah yang ditangani sudah selesai berdasarkan
berbagai sisi norma dan ketentuan yang ada. |
Pasal 7
Tata Cara Penyusunan Pengurus dan Anggota
(1)
|
Ketua DKGI Pusat dipilih melalui Konfrensi
Pusat PGRI, dan ketua di Provinsi dan atau Kabupaten/Kota melalui
Konferensi Kerja PGRI Provinsi dan atau Kabupaten/kota. |
(2)
|
Ketua DKGI terpilih selaku formatur tunggal
dan atas dasar masukan dari pengurus PGRI berkewajiban untuk segera
menunjuk, mengangkat dan menetapkan sekertaris, bendahara dan anggota
secara lengkap. |
(3)
|
Sebelum DKGI menjalankan fungsi dan
tugasnya maka ketua DKGI memberitahukan terlebih dahulu kepada pengurus
PGRI tentang susunan pengurus secara resmi dan lengkap. |
(4)
|
Penunjukkan, pengangkatan dan pengesahan
anggota DKGI tidak tetap dilakukan oleh ketua DKGI atas musyawarah
dengan pengurus dan konsultasi dengan pengurus PGRI. |
(5)
|
Apabila salah seorang anggota DKGI
meninggal dunia atau mengundurkan diri atau karena suatu hal
diberhentikan sebagai anggota maka penggantiannya dilakukan oleh ketua
DKGI atas musyawarah seperti ayat tersebut di atas. |
(6)
|
Pemberhentian terhadap anggota DKGI hanya
dilakukan apabila yang bersangkutan dinilai melanggar aturan yang
ditentukan dan tidak lagi sesuai dengan syarat-syarat sebagai pengurus
atau anggota DKGI. |
Pasal 8
Syarat-Syarat Pengurus dan Anggota
Syarat-syarat yang wajib dipenuhi oleh seseorang untuk dapat dipilih,
diangkat, atau ditunjuk menjadi pengurus atau anggota DKGI adalah guru
dan tenaga kependidikan lainnya yang di yakini:
(1)
|
Beriman dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa. |
(2)
|
Berjiwa nasionalisme yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. |
(3)
|
Memiliki kepribadian yang dapat diterima dan disegani serta memiliki kredibilitas profesi kependidikan yang cukup tinggi. |
(4)
|
Loyalitas yang tinggi terhadap organisasi
PGRI, peka terhadap perkembangan permasalahan yang muncul di lingkungan
kependidikan dan maupun kemasyarakatan. |
(5)
|
Menguasai masalah Kependidikan, guru dan tenaga kependidikan. |
(6)
|
Bersih, jujur, adil, sabar, terbuka dan berwibawa. |
Pasal 9
Masa Jabatan Pengurus
(1)
|
Masa jabatan kepengurusan DKGI sama dengan masa jabatan pengurus PGRI yaitu selama 5 tahun. |
(2)
|
Masa jabatan sebagaimana dimaksud dalam
ayat satu di atas segera berlaku setelah adanya pengesahan secara
keorganisasian dari Pengurus Besar PGRI, dan pengesahan kepengurusan
dari Pengurus PGRI yang ada pada daerah tersebut. |
Pasal 10
Tugas dan Wewenang
Sesuai dengan AD PGRI BAB XVII pasal 30 ayat 2, dan ART PGRI BAB XXVI pasal 92, maka tugas dan fungsi DKGI adalah :
(1)
|
memberikan saran, pendapat, dan
pertimbangan tentang pelaksanaan, penegakan, pelanggaran disiplin
organisasi dan Kode Etik Guru Indonesia Indonesia kepada Badan Pimpinan
organisasi yang membentuknya tentang: |
|
a. |
pelaksanaan bimbingan, pengawasan, penilaian dalam pelaksanaan disiplin organisasi serta Kode Etik Guru Indonesia; |
|
b. |
pelaksanaan, penegakan, dan pelanggaran disiplin organisasi yang terjadi di wilayah kewenangannya; |
|
c. |
pelanggaran Kode Etik Guru Indonesia yang
dilakukan baik oleh pengurus maupun oleh anggota serta saran dan
pendapat tentang tindakan yang selayaknya dijatuhkan terhadap
pelanggaran kode etik tersebut; |
|
d. |
pelaksanaan dan cara penegakan disiplin organisasi dan Kode Etik Guru Indonesia; dan, |
|
e. |
pembinaan hubungan dengan mitra organisasi di bidang penegakan serta pelanggaran disiplin organisasi serta Kode Etik Guru; |
(2)
|
pelaksanaan tugas bimbingan,
pembinaan, penegakan disipin, hubungan dan pelaksanaan Kode Etik Guru
Indonesia sebagaiamana ayat-ayat di atas dilakukan bersama pengurus PGRI
di segenap perangkat serta jajaran di semua tingkatan; |
(3)
|
pelaksanaan tugas penilaian dan
pengawasan pelaksanaan kode etik profesi sebagaimana ayat-ayat di atas
dilakukan melalui masing-masing DKGI di semua tingkatan organisasi. |
Pasal 11
Pertanggung Jawaban
DKGI Pusat bertanggung jawab kepada Pengurus Besar PGRI melalui
Kongres dan Konpus PGRI; DKGI PGRI Provinsi dan atau Kabupaten/kota
bertanggung jawab kepada Pengurus PGRI Provinsi dan atau Kabupaten/kota
melalui Konprov/Konkerprov dan Konkab/Konkot dan atau Konkerkab/Kot di
Provinsi dan atau di Kabupaten/kota.
Pasal 12
Ketentuan Persidangan
DKGI pada waktu melaksanakan tugas dan fungsinya terutama tugas
penilaian dan pengawasan perlu menyelenggarakan persidangan-persidangan
dengan ketentuan sebagai berikut :
(1)
|
pelaksanaan persidangan DKGI akan dianggap sah apabila dihadiri lebih dari satu per dua dari jumlah anggota; |
(2)
|
waktu dan jumlah persidangan tergantung
kebutuhan, dan hasil dari seluruh persidangan akan menjadi laporan
pertanggungjawaban satu tahun satu kali dalam forum organisasi yang
disebut Konpus, konkerprov dan atau Konkerkab/kot PGRI, dan lima tahun
sekali dalam forum Kongres dan atau Konkab/kot PGRI; |
(3)
|
DKGI dalam melaksanakan persidangan harus
bersifat tertutup, kecuali apabila dikehendaki lain, dan ditentukan
seluruhnya oleh DKGI itu sendiri; |
(4)
|
ketua DKGI menjadi pimpinan sidang, dan
apabila berhalangan hadir maka penggantinya adalah wakil ketua, dan
apabila masih juga berhalangan maka persidangan sementara ditunda; |
(5)
|
sekretarias bertanggung jawab atas seluruh
pencatatan dan pelaporan hasil sidang, apabila sekretaris berhalangan
bisa digantikan oleh anggota yang ditunjuk pimpinan sidang yang
disepakati anggota yang lainnya. |
Pasal 13
Keputusan Persidanganan
(1)
|
Keputusan diambil atas dasar musyawarah dan
mufakat; dan apabila tidak tercapai maka pengambilan keputusan diambil
atas dasar perhitungan suara terbanyak. |
(2)
|
Perhitungan suara dilakukan secara bebas dan rahasia dari setiap anggota yang memiliki hak bicara atau hak suara. |
(3)
|
keputusan yang diambil harus diteruskan ke Pengurus PGRI yang setingkat untuk segera ditindaklanjuti seperlunya. |
Pasal 14
Garis Hubungan Kerja
(1)
|
Garis hubungan kerja antara DKGI pusat
dengan Provinsi dan atau Kabupaten/kota adalah bersifat konsultatif,
pelaporan maupun pelimpahan wewenang penanganan masalah kasus
pelanggaran Kode Etik Guru Indonesia. |
(2)
|
Garis hubungan kerja DKGI dengan pengurus
PB PGRI dan atau Perngurus PGRI Provinsi dan atau Kabupaten/kota
didasarkan bahwa DKGI adalah kelengkapan perangkat organisasi otonom
yang dibanggakan. |
(3)
|
Keputusan DKGI harus mejadi keputusan
Pengurus PGRI, dan Pengurus PGRI harus melaksanakan keputusan DKGI yang
setingkat dengan pengurus PGRI. |
(4)
|
Apabila DKGI mengadakan garis hubungan
kerja dengan pengurus PGRI yang lebih tinggi tingkatannya maka harus
melalui pengurus PGRI yang setingkat dengan DKGI tersebut. |
Pasal 15
Adminstrasi dan Pendanaan
(1)
|
Administrasi DKGI dikelola oleh sekretaris, dan tatalaksana perkantoran berpedoman/mengikuti dan ditunjang oleh pengurus PGRI. |
(2)
|
Pengelola sekretariat DKGI harus bertanggung jawab atas jaminan kerahasiaan seluruh berkas-berkas persidangan dan yang lainnya. |
(3)
|
Pendanaan yang dibutuhkan untuk kelancaran dalam menjalankan fungsi dan tugas DKGI menjadi tanggung jawab pengurus PGRI. |
BAB III
PEMBINAAN DAN PEMASYARAKATAN
Pasal 16
T u j u a n
Meningkatkan mutu pengabdian profesi guru dan dan tenaga kependidikan
lainnya dalam mempercepat tercapainya tujuan pembangunan nasional,
khususnya program pembangunan pendidikan, dengan jalan :
(1)
|
meningkatkan pemasyarakatan Kode Etik Guru
Indonesia terhadap seluruh guru dan tenaga kependidikan lainnya serta
masyarakat secara umum; |
(2)
|
meningkatkan perilaku guru dan tenaga
kependidikan lainnya dalam pemahaman, penghayatan, dan pengamalan etika
guru demi terciptanya proses pengabdian profesi kependidikan yang lebih
baik; |
(3)
|
menciptakan suasana masyarakat yang lebih
kondusif, sehingga akan lebih menguntungkan dalam proses pengabdian dan
penerapan etika guru. |
Pasal 17
Sasaran yang Ingin dicapai
Sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan dalam pasal 17 di atas,
maka sasaran dari pembinaan dan pemasyarakatan Kode Etik Guru Indonesia
adalah sebagai berikut:
(1)
|
guru dan tenaga kependidikan lainnya dapat menjalankan pengabdian khususnya di bidang pendidikan dengan baik; |
(2)
|
terjadinya pemahaman tentang etika guru bagi calon guru dan tenaga kependidikan lainnya yang berada di lembaga kependidikan; |
(3)
|
tumbuhnya pengakuan dari pemerintah dan
masyarakat secara luas akan pengabdian profesi kependidikan dan Kode
Etik Guru Indonesia. |
Pasal 18
Jenis Kegiatan
(1)
|
Menganjurkan kepada pemerintah dan swasta
penyelenggra pendidikan untuk memasukan materi Kode Etik Guru Indonesia
khususnya di lembaga kependidikan. |
(2)
|
Menyelenggarakan berbagai pertemuan
profesional secara individual kelompok maupun klasikal dalam membahas
dan mengkaji berbagai aspek Etika Guru. |
(3)
|
Menyebarluaskan informasi secara tertulis
melalui majalah suara guru dan yang lainnya tentang Kode Etik Guru
Indonesia terhadap calon guru dan guru serta tenaga kependidikan
lainnya. |
(4)
|
Menyelenggarakan berbagai kegiatan lainnya
yang dinilai tidak mengikat dan dapat mencapai pemasyarakatan dan
pembinaan Kode Etik Guru Indonesia baik di lingkungan kependidikan
maupun di pemerintahan dan masyarakat. |
Pasal 19
Materi Pemasyarakatan dan Pembinaan
(1)
|
Kode Etik Guru Indonesia. |
(2)
|
Lapal pengucapan janji dan sumpah guru dan tenaga kependidikan lainnya. |
(3)
|
Hukum, aturan dan ketentuan yang ada kaitannya dengan kependidikan. |
(4)
|
Status guru. |
(5)
|
Materi-materi lain yang dapat dinilai menunjang terhadap tercapainya permasyarakatan dan pembinaan Kode Etik Guru Indonesia. |
Pasal 20
Pelaksanaan Kegiatan
(1)
|
Kegiatan pemasyarakatan dan pembinaan Kode
Etik Guru Indonesia dilaksanakan oleh Dewan Kehormatan Guru, dengan
jalan bahwa pengurus pusat bertanggung jawab untuk menetapkan
garis-garis besar pemasyarakatan dan pembinaan (GBPP) untuk dijabarkan
dan dikoordinasikan pelaksanaannya di daerah. |
(2)
|
Dalam melaksanakan pemasyarakatan dan
pembinaan seperti ayat satu di atas, maka Dewan Kehormatan Guru dapat
bekerja sama dengan pengurus PGRI, mitra pendidikan, dan instansi
pemerintah dan kemasyarakatan lainnya, yang pelaksanaannya di bawah
koordinasi Pengurus PGRI. |
BAB IV
PENANGANAN PELANGGARAN KODE ETIK GURU INDONESIA
Pasal 21
T u j u a n
(1)
|
Memecahkan berbagai masalah pelanggaran
terhadap Kode Etik Guru Indonesia baik berasal dari komponen pemerintah,
masyarakat, atau guru dan tenaga kependidikan lainnya. |
(2)
|
Menegakkan kebenaran dan keadilan bagi
seluruh guru dan tenaga kependidikan lainnya sebagai pelaksana
pengabdian profesi guru dan tenaga kependidikan lainnya; serta bagi
seluruh komponen masyarakat sebagai pemakai jasa pelayanan kependidikan. |
Pasal 22
Sasaran yang ingin dicapai
(1)
|
Menangani berbagai perilaku yang menyimpang
dari Kode Etik Guru Indonesia yang dilakukan oleh guru dan tenaga
kependidikan lainnya sewaktu melaksanakan pengabdian profesi
kependidikan. |
(2)
|
Penanganan penyimpangan seperti dimaksud
dalam ayat satu di atas baru dapat dilakukan apabila terjadi pengaduan,
ada permintaan dari Pengurus PGRI dan atau DKGI menduga terjadi adanya
pelanggaran terhadap Kode Etik Guru Indonesia. |
Pasal 23
Proses Pengaduan
(1)
|
Para pihak yang menemukan terjadinya
pelanggaran terhadap Kode Etik Guru Indonesia dapat mengajukan melalui
surat pengaduan kepada DKGI tempat terjadinya masalah tersebut. |
(2)
|
Apabila di daerah kejadian tersebut belum
ada DKGI Kab/Kot maka surat pengaduan diajuakan ke DKGI Provinsi, dan
apabila juga belum ada, maka bisa diajuka ke DKGI pusat. |
(3)
|
Surat pengajuan pengaduan dianggap sah
apabila diajukan secara tertulis dan dilengkapi dengan berbagai
identitas pengaduan yang diajukan dan bukti-bukti yang memperkuat dan
menunjang terhadap pengaduan yang diajukan tersebut. |
(4)
|
Surat pengajuan pengaduan dianggap tidak
sah apabila diajukan tidak dilengkapi/disertai dengan bukti-bukti yang
cukup, dan identitas yang selayaknya dijelaskan, serta waktu kejadian
tersebut sudah melewati waktu dua setengah tahun atau lebih. |
(5)
|
Apabila surat pengaduan pertama kali bukan
diterima oleh pengurus DKGI Provinsi dan atau Kabupaten/kota, maka
paling lambat dua minggu setelah diterimanya surat pengaduan tersebut
harus segera diteruskan kepada DKGI Kabupaten/kota dimana terjadinya
kejadian tersebut diajukan. |
(6)
|
Apabila DKGI dimana terjadinya kejadian
pengajuan belum terbentuk, maka surat pengaduan sebagaimana ayat 5 di
atas harus diteruskan kepada DKGI PGRI Provinsi, begitupun bagi DKGI
PGRI Provinsi yang belum terbentuk, maka pengajuannya harus diteruskan
kepada DKGI pusat. |
Pasal 24
Pengkajian
(1)
|
Setiap pengajuan yang diajukan
karena pelanggaran terhadap Kode Etik Guru Indonesia harus dikaji
terlebih dahulu secara berhati-hati dan seksama dengan prinsip
penanganan berdasarkan asas praduga tak bersalah. |
(2)
|
Kegiatan pengkajian sebagaimana
ayat satu di atas untuk tahap pertama menjadi tugas dan wewenang
pengurus DKGI PGRI Kabupaten/kota dengan langkah-langkah kegiatan
sebagai berikut : |
|
a. |
mempelajari identitas pengaduan yang diajukan; |
|
b. |
mempelajari berkas-berkas sebagai bukti tertulis yang diajukan; |
|
c. |
mengambil kesimpulan sementara absah dan tidaknya surat pengaduan tersebut; |
|
d. |
mempelajari masalah lebih dalam dan luas lagi, dengan cara : |
|
|
1) |
mengundang pengadu dan yang diadukan secara
terpisah untuk sama-sama melengkapi dan memberi penjelasan tentang
duduk permasalahan sebenarnya; |
|
|
2) |
mengundang saksi dari para pihak secara
terpisah apabila ada dan diajukan untuk sama-sama meminta informasi
dalam memperjelas masalah yang diajukan; |
|
|
3) |
melakukan kunjungan ke tempat terjadinya
kejadian untuk memperoleh keterangan yang lebih jelas dan akurat,
ataupun hubungannya dengan benda-benda atau barang-barang bukti yang
sifatnya tidak bisa dipindahkan; dan |
|
|
4) |
apabila diperlukan maka diperbolehkan
mengundang pihak-pihak tertentu yang sesuai dengan masalah yang diajukan
untuk dijadikan saksi ahli; |
|
e. |
melakukan sidang DKGI secara lengkap untuk bermusyawarah dalam menentukan persiapan sidang–sidang selanjutnya.
|
Pasal 25
Barang Bukti
(1)
|
Pada waktu pemanggilan saksi dan
kunjungan-kunjungan ke tempat kejadian, maka pada waktu itu pula dapat
dimintakan untuk memperlihatkan berbagai barang bukti, dan jika
diperlukan diminta persetujuan untuk membuat rekaman suara dan
atau gambar. |
(2)
|
Apabila pengadu dan teradu serta saksi
menolak memperlihatkan barang bukti dan pengambilan suara dan gambar
sebagaimana ayat 1 (satu) di atas, maka hal ini dapat dicatat untuk
dijadikan bahan pertimbangan pada waktu pengambilan keputusan. |
(3)
|
DKGI tidak berwenang melakukan penyitaan
terhadap barang-barang bukti yang diajukan melainkan bisa melalui
pihak–pihak yang berwenang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku. |
Pasal 26
Kegiatan Pembelaan
(1)
|
Pada waktu proses pengkajian dan sidang-sidang maka pihak teradu memiliki hak untuk didampingi oleh pembela. |
(2)
|
Yang dimaksud pembela adalah Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum (LKBH) PGRI. |
(3)
|
Hak yang dimiliki tersebut harus terlebih dahulu dikemukakan jauh sebelum sidang dimulai. |
(4)
|
Mengingat sifat kejadian yang ditangani
menyangkut etika guru sangat khusus dan lebih pelik, maka dibenarkan dan
berhak untuk didampingi pembela dari luar dapat dipertimbangkan,
apabila yang dimintakan teradu adalah pembela berasal dari luar LKBH
PGRI. |
Pasal 27
Penunjukan Saksi Ahli
(1)
|
Apabila dalam penanganan kejadian
pelanggaran Kode Etik Guru Indonesia dimaksud diperlukan adanya saksi
ahli, maka dapat dimintai kehadirannya dalam setiap sidang dalam forum
DKGI. |
(2)
|
Penunjuk saksi ahli menjadi wewenang sepenuhnya dari DKGI. |
(3)
|
Saksi ahli tahap pertama harus diambil dari
lingkungan organisasi PGRI beserta seluruh kelengkapan perangkat
organisasi, namun apabila tidak ada maka dapat diminta di luar
organisasi PGRI. |
Pasal 28
Kegiatan Persidangan
(1)
|
Tata cara persidangan DKGI di daerah harus
sesuai dengan tata cara yang ditentukan DKGI pusat; (tata cara ini akan
diminta penjelasan dari ketua LKBH PB PGRI). |
(2)
|
Apabila teradu menginginkan bantuan dan
memanfaatkan jasa dari LKBH PGRI maka LKBH PGRI tersebut harus
memberitahukan kepada LKBH PGRI Propvinsi dan LKBH PGRI Pusat. |
(3)
|
Apabila pengkajian telah selesai dilakukan
maka sebelum diambil keputusan hendaknya LKBH PGRI diberikan kesempatan
mengemukakan pendapatnya tentang kejadian yang sedang di kaji. |
Pasal 29
Pengambilan Keputusan
(1)
|
Tata cara pengambilan keputusan
dalam sidang-sidang DKGI Provinsi dan atau Kabupaten/Kota harus sesuai
dengan yang ditentukan DKGI pusat; (ketentuan hal ini akan minta
penjelasan dari ketua LKBH PB PGRI). |
(2)
|
Keputusan yang diambil oleh
DKGI dalam penanganan pelanggaran Kode Etik Guru Indonesia harus
menyatakan dengan jelas bersalah atau tidak bersalah bagi teradu. |
(3)
|
Keputusan sebagaimana ayat dua di atas harus dibedakan antara kesalahan ringan, sedang, dan berat. |
(4)
|
Penetapan kategori kesalahan hendaknya didasarkan kepada kriteria sebagai berikut : |
|
a. |
akibat yang ditimbulkan terhadap kehormatan profesi; keselamatan guru dan tenaga kependidikan lainnya; |
|
b. |
itikad yang ditunjukan cukup baik pihak
teradu dalam membantu menyelesaikan persoalan dimaksud; serta dorongan
yang mendasari tumbuhnya kejadian yang bisa dipertimbangkan; |
|
c. |
kondisi lingkungan yang dapat mempengaruhi tumbuhnya kejadian; serta pendapat dan pandangan LKBH PGRI; |
(5)
|
Apabila kejadian yang dimaksud
menyangkut pelanggaran hukum dan masalah tersebut sedang dalam proses
hukum, maka hendaknya keputusan DKGI ditunda sampai dengan keputusan
hukum tersebut. |
(6)
|
DKGI harus mampu mencegah tumbuhnya proses hukum di pengadilan dengan upaya persidangan di DKGI tersebut. |
Pasal 30
Pemberian Sanksi
(1)
|
DKGI merekomendasikan pemberian sanksi
kepada badan pimpinan organisasi PGRI yang setingkat dengan DKGI dan
diteruskan kepada PB PGRI untuk disampaikan kepada instansi pemerintah
dan penyelenggara pendidikan yang terkait. |
(2)
|
Dalam hal sanksi yang langsung berhubungan
dengan keanggotaan pada PGRI, maka PB PGRI dapat mencabut keanggotaan
guru atau tenaga kependidikan tersebut bila DKGI memutuskan demikian. |
(3)
|
Sanksi yang diberikan akan tergantung kepada berat dan ringannya kesalahan yang dilakukan oleh pihak tertentu. |
(4)
|
Sanksi yang diberikan bisa berupa : (1)
teguran; (2) peringatan tertulis; (3) penundaan pemberian hak; (4)
penurunan pangkat; dan (5) pemberhentian dengan hormat; atau (6)
pemberhentian tidak dengan hormat. |
(5)
|
Kalau keputusan oleh Instansi terkait
berupa pemberhentian dengan hormat atau tidak hormat maksudnya adalah
dalam waktu sementara melalui waktu yang telah ditentukan, dan pada masa
ini diadakannya pembinaan dari pihak DKGI. |
(6)
|
Apabila selama waktu pemberhentain
sementara, tidak terjadi perbaikan-perbaikan, maka akan ditetapkan
pemecatan dan pemberhentian dari anggota/pengurus PGRI, yang diikuti
dengan penyampaian rekomendasi kepada Instansi Departemen Pendidikan
Nasional untuk diadakan tindakan seperlunya. |
(7)
|
Keputusan tentang pemecatan dan pemberhentian tetap dikirimkan kepada pengurus PGRI/DKGI PGRI Provinsi maupun PB PGRI. |
Pasal 31
Banding
(1)
|
Apabila kedua belah pihak antara pengadu
dan teradu merasa tidak puas atas keputusan yang telah ditetapkan DKGI,
maka keduanya bisa menyatakan untuk mengajukan naik banding. |
(2)
|
Naik banding sebagaimana ayat satu di atas
merupakan tahap awal yang harus ditujukan kepada DKGI PGRI Provinsi,
begitu pula selanjutnya bisa naik banding tahap yang kedua yang
ditujukan ke tingkat DKGI Pusat. |
(3)
|
Tata cara pengakajian dan pengambilan
keputusan pada pelaksanaan sidang-sidang pada dasarnya sama antara DKGI
PGRI Provinsi dan atau Kabupaten/kota dengan di pusat. |
(4)
|
Keputusan yang diambil DKGI Pusat pada
dasarnya merupakan keputusan final dan mengikat yang tidak bisa diganggu
gugat, kecuali datangnya keputusan lain melalui Kongres PGRI. |
Pasal 32
Perbaikan dan Pemulihan
(1)
|
Perbaikan dan pemulihan akan dilakukan
apabila ternyata penerima sanksi dinyatakan tidak bersalah; atau telah
menjalani sanksinya sesuai keputusan DKGI. |
(2)
|
Bagi pihak penerima sanksi sebagaimana ayat
1 (satu) di atas akan segera dikeluarkan perbaikan dan pemulihan yang
disertai permintaan maaf kepada penerima sanksi tersebut. |
(3)
|
Surat perbaikan dan pemulihan sebagaimana
pada ayat 2 (dua) di atas disampaikan kepada penerima sanksi, instansi
tempat bekerja, serta kepada masyarakat secara umum. |
(4)
|
Penerbitan surat keputusan perbaikan dan
pemulihan dilakukan oleh Pengurus PGRI dimana masalah tersebut ditangani
dengan tembusan kepada pengurus PGRI yang lebih tinggi dan yang
dibawahnya termasuk pula kepada DKGI yang bersangkutan. |
Pasal 33
Administrasi
(1)
|
Setiap surat pengaduan dan identitas pengadu diperlakukan sebagai surat rahasia dan jika dianggap perlu untuk dirahasiakan. |
(2)
|
Pemanggilan terhadap pengadu, teradu, dan saksi harus dilakukan secara tertulis dan paling banyak 3 kali pemanggilan. |
(3)
|
Apabila pemanggilan sebagaimana pada ayat 2
(dua) di atas ada yang tidak datang dan tanpa alasan yang sah, maka
penanganan masalah tersebut harus dilanjutkan tanpa kehadirannya. |
(4)
|
Dalam hal minta keterangan terhadap
pengadu, teradu, dan saksi oleh DKGI tidak diawali dengan pengambilan
sumpah, akan tetapi hanya dengan surat pernyataan. |
(5)
|
Surat dimaksudkan secara tertulis yang
dibuat dan ditandatangani di atas materai yang cukup di depan DKGI yang
berisi bahwa keterangan yang akan diberikan adalah benar. |
(6)
|
Apabila pihak-pihak tersebut sebagaimana
ayat 4 (empat) di atas tidak bersedia atau menolak membuat atau
menandatangani surat dimaksud, maka akan menjadi catatan khusus sebagai
bahan pertimbangan dalam menentukan keputusan. |
(7)
|
Semua keterangan, barang bukti dan hal-hal
lainnya yang berhubungan dengan sidang-sidang DKGI harus dibukukan dan
didokumentasikan secara lengkap dan sempurna serta menjadi milik PGRI.
Data-data tersebut sangat tidak dibenarkan untuk diketahui oleh pihak
ketiga atau pihak lain, kecuali dinyatakan lain oleh ketentuan
perundang-undangan dan diminta oleh Negara. |
BAB V
PENUTUP
Pasal 34
Penutup
Hal-hal lain yang belum diatur dalam ketentuan ini akan diatur tersendiri oleh DKGI.
***
(Sumber: www.pgri.or.id)