Translate

Selasa, 04 Juni 2013

JERMAN MENCIPTAKAN SEKOLAH MASA DEPAN

Jerman

Menciptakan Sekolah Masa Depan

Pengajar yang lelah, siswa yang stres dan orang tua yang tidak puas. Semakin banyak muncul inisiatif yang menuntut reformasi pendidikan yang mendasar.
Sebuah sekolah dasar di kota Dortmund utara, dikelilingi bangunan tinggi yang merupakan hunian sekitar 1000 orang dari 30 negara. Kemiskinan, pengangguran dan masalah bahasa menandai keseharian anak-anak di kawasan ini. "Murid-murid kami hanya punya satu peluang, yaitu pendidikan," ujar Gisela Schultebraucks-Burgkart, kepala sekolah tersebut sejak tahun 1994.
Bantuan bahasa, pelajaran terpadu, lokakarya dan kerjasama yang intensif dengan orangtua membawa hasil positif. Jumlah yang cukup tinggi, yaitu 44 persen dari lulusan sekolah dasar itu berhasil memasuki sekolah menengah bergengsi "Gymnasium" yang memungkinkan lulusannya untuk kuliah. Tahun 2006 sekolah ini menerima penghargaan "Deutscher Schulpreis" untuk konsepnya itu. Sejak itu sekolah ini menjadi panutan untuk bagaimana sebuah sekolah yang terletak di tengah-tengah kawasan sosial rawan, bisa berhasil.
 
Berpaling dari pelajaran frontal dan tekanan berprestasi
Pada tahun 1994, kepala sekolah usia 61 tahun itu bisa dilihat sebagai perintis dengan idenya untuk membantu siswa secara individual dan kerjasama dengan orangtua. Saat ini banyak sekolah Jerman yang ingin berpaling dari pelajaran frontal, tekanan berprestasi dan menyisihkan siswa yang lemah.
***ACHTUNG: Bilder nur zur Berichterstattung über das Projekt Schule im Aufbruch verwenden!!!***
Der Bildungsforscher Gerald Hüther mit Margret Rasfeld, Schulleiterin der Evangelischen Schule Berlin Zentrum.
Copyright: Charlotte Schuchard
Angeliefert von Claudia Unseld am 28.5.2013-
Gerald Hüther
Semakin banyak orang menginginkan reformasi mendasar dalam pendidikan sekolah di Jerman. Pasalnya di Jerman, peran orangtua sangat menentukan dalam keberhasilan pendidikan sekolah anak. Hal ini telah membuat kegagalan banyak anak imigran dan anak dari keluarga yang secara sosial terabaikan.
 
Reformasi "dari bawah"
"Kami butuh perubahan radikal dalam sistem sekolah kami," ujar Margret Rasfeld, direktur Pusat Sekolah Evangelis Berlin. Karena perubahan itu tidak datang "dari atas," artinya dari yang berwenang. Rasfeld dan seorang periset ilmu otak, Gerald Hüther serta sejumlah pakar pendidikan lainnya membentuk sebuah inisiatif yang disebut "Kebangkitan Pendidikan".
***ACHTUNG: Bilder nur zur Berichterstattung über das Projekt Schule im Aufbruch verwenden!!!***
Die Roadshow Lernlust unterwegs.
Copyright: Charlotte Schuchard
Angeliefert von Claudia Unseld am 28.5.2013-
Roadshow
Berbagai inisiatif dari sejumlah organisasi pendidikan lainnya juga menginginkan hal yang serupa. "Sekolah pada abad ke-21 ini mengemban tugas yang berbeda daripada zaman sebelumnya," tegas Hüther. "Sekarang tidaklah penting untuk menghafal buta, tetapi kemampuan untuk memikul tanggung jawab di dalam dunia yang sangat rumit."
 
Pembimbing bantu perubahan
Inisiatif baru ini sudah aktif dilaksanakan, misalnya melalui "roadshow gairah belajar" di sebelas kota Jerman. 16 kemitraan regional berhasil terbentuk dengan koordinasi sebuah biro pusat.
Selain kerja sama dengan berbagai sekolah, biro kerjasama ini juga menyediakan pembimbing yang mengiringi proses reformasi. Ali Döhler, seorang pelatih, mengatakan, "Sekolah-sekolah mendapat tekanan besar untuk meningkatkan prestasi siswa. Namun di sisi lain, tidak semua siswa menghasilkan prestasi yang sama." Jadi metode klasik belajar dan mengajar kewalahan menghadapi tuntutan ini.
 
Perubahan struktur, kemudian perubahan pembelajaran
***ACHTUNG: Bilder nur zur Berichterstattung über das Projekt Schule im Aufbruch verwenden!!!***
Der Schüler Paul Erchinger im Unterricht an der Evangelischen Schule Berlin-Zentrum
Copyright: Ev. Schule Berlin-Zentrum
Angeliefert von Claudia Unseld am 28.5.2013-
Paul Erchinger
Bagi Döhler yang menentukan adalah membangun hubungan individu dengan masing-masing siswa. Untuk itu dibutuhkan perubahan struktur. Misalnya, kelas sebisanya dibagi dua. Ia juga menyarankan untuk tidak lagi mengajar secara frontal, tetapi siswa diberikan kemungkinan untuk menentukan, bagaimana mereka menggarap tema pelajaran. Pengajar mengawasi proses pembelajaran ini sebagai "tutor".
Menurut Döhler, reformasi ini memerlukan lima sampai enam tahun. Sedangkan reformasi "dari bawah" butuh lebih lama lagi. Namun ia yakin, upaya ini akan berhasil karena memang sudah waktunya. Paul Erchinger, 14 tahun, adalah siswa di sebuah kelas yang heterogen di Berlin, artinya ada siswa yang pintar sekali, ada yang biasa-biasa saja. Dia merasa jauh lebih baik kalau dapat belajar secara mandiri dengan temponya sendiri. Siswa-siswa kelas ini memang menunjukkan prestasi yang sangat baik berkat pendekatan invidual dan yang berbeda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar